Sabtu, 28 Maret 2009

Di Mana Mengasah Kecerdasan Finansial ?



MARSUDI KANG

Pendidikan skolastik dan profesional tidak mengajarkan kitab cerdas secara finansial. Kita belajar akunting di sana. Namun kita disiapkan untuk jadi book-keeper bagi aset-aset orang lain. Kita tidak belajar untuk mengembangbiakkan aset sendiri. Para guru dan dosen mengajari kita bekerja untuk mencari uang, bukan menciptakan uang. Di sekolah, kita belajar menjadi pegawai yang baik, taat, loyal, dan produktif. Di kampus, kita dipersiapkan menjadi sekrup-sekrup dari mesin uap milik orang lain. Di berbagai kursus, terang-terangan kita dilatih bekerja untuk orang lain. Tak satu pun yang mengajari kita bebas secara finansial. Itulah kelemahan sistem pendidikan kita sekarang.

Tapi, hanya karena sekolah tidak menyediakan tempat bagi kecerdasan finansial di dalam kurikulum, apakah kita lantas tidak mengajarinya ? Kita harus tetap mempelajarinya. Mungkin secara langsung di dunia nyata. Mungkin juga kita mempelajarinya secara empirik, dengan pengalaman konkret. Atau, mungkin kita bisa memetik pelajaran dari pengalaman orang lain, entah pengalaman gagal atau sukses.

Belajar dari Dunia Nyata

Banyak orang cerdas secara finansial setelah bertahun-tahun berkecimpung di alam nyata. Mereka tahu nikmatnya passive income, lantas terus mencoba meningkatkan aset produktif untuk memperbesar pipa saluran kekayaan. Mungkin awalnya tidak sengaja, tetapi setelah berhasil menemukan polanya, mereka menjadi ketagihan. Memang, tidak semua pengalaman itu manis. Ada pula yang harus lebih dulu jatuh bangun dan babak belur, sebelum akhirnya bisa membalikkan kegagalan menjadi kesuksesan. Walaupun harus jatuh bangun terlebih dahulu, mereka masih lebih mendingan dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya.

Para pemilik bisnis (business owner) dari berbagai perusahaan yang arus kasnya positif, pemilik property yang disewakan, pemilik mobil atau barang-barang lain yang disewakan; mungkin saja merupakan orang-orang yang mempelajari kecerdasan finansial dari tindakan nyata mereka sehari-hari. Mereka bertransaksi, menjual, membeli, dan melakukan dealing setiap saat. Kadang-kadang rugi. Itu biasa. Asalkan saja secara keseluruhan, arus kasnya masih positif. Mereka pun akhirnya mampu mengompensasi kerugian d satu transaksi dengan keuntungan pada transaksi lain. Mereka menggunakan pola trial and error, atau learning by doing untuk membangun kecerdasan finansial mereka. Nilai plusnya, mereka benar-benar bisa merasakan dan menghayati proses yang sedang dilakukan. Negatifnya, tentu saja, harus menanggung learning cost yang tidak kecil.

Belajar dari Menthor

Lebih cerdas dari kelompok pertama yang menggunakan pola trial and error. Kelompok yang kedua ini secara konseptual sudah memahami prinsip-prinsip kecerdasan finansial. Mereka hanya membutuhkan contoh nyata, yaitu seseorang yang mereka kenal, yang bisa berinterkasi langsung. Sangat mungkin, seseorang itu adalah teman dekatnya, saudaranya, orang tuanya, atau orang-orang dalam inner cycle-nya.

Belajar dari menthor, memang bisa mengeliminasi kemungkinan gagal. Setidaknya, ada yang bias diajak ngomong kalau mau bermanuver membeli atau menjual aset. Ada yang memberi petunjuk-petunjuk berdasarkan pengalaman nyata. Namun di sisi lain, belajar langsung dari menthor juga ada ruginya. Yang paling riskan adalah besar kemungkinan murid yang meng-copy sang guru. Entah strateginya, way of life, maupun nilai-nilai dalam berbisnis. Tidak menjadi soal kalau yang ditiru merupakan sosok yang sempurna luar dalam (cerdas sekaligus etis). Tapi bagaimana kalau sang guru ternyata suka berperilaku tidak etis dalam berbisnis, walaupun memang dia cerdas luar biasa ? Hal lain yang harus diperhitungkan adalah besarnya kemungkinan untuk menjadi follower seumur hidup. Sehingga tidak berani untuk menerapkan ide-ide orisinal sendiri, atau kurang percaya diri untuk bersikap kreatif. Padahal, perubahan yang kian cepat menuntut kita untuk selalu kreatif dan lebih kreatif lagi.

Belajar dari Ahlinya

Anda bisa belajar dari kursus-kursus singkat menganai kecerdasan finansial. Anda bisa mengikuti short course, training atau seminar mengenai bagaimana meraih kebebasan finansial dalam waktu singkat. Anda bias berinteraksi langsung dengan sang pembicara, yang mungkin saja merupakan pemotivasi terkenal, atau pakar di bidang ilmu menjadi kaya. Keuntungannya, Anda bisa berdialog langsung dengan mereka. Anda bisa menyerap ilmunya. Anda bisa tertular motivasinya yang meledak-ledak. Anda akan tergerak untuk melakukan hal yang sama persis seperti yang disarankan oleh sang pembicara. Bukanlah semangat adalah satu jenis ”virus” yang menular ? Ruginya, sang pembicara tidak terfokus pada diri Anda. Ada ratusan peserta seminar lain. Sang ahli hanya mencoba merumuskan resep yang bersifat generik. Padahal, penerapan berbagai strategi finansial harus mempertimbangkan karakter khusus masing-masing orang. Jadi belum tentu apa yang dibicarakan sang pembicara secara berapi-api itu bisa Anda lakukan secara sempurna. Kelemahan lainnya, tidak semua pakar benar-beanr mampu menerapkan teorinya dalam praktik. Banyak pakar atau pengamat bisnis yang tak becus mengelola perusahaan. Banyak pula penasihat financial yang hidupnya justru terbelit utang. Jadi, berhati-hatilah.

Belajar dari Buku

Anda bisa juga belajar dari buku. Belakangan ini banyak buku beredar mengenai kecerdasan finansial. Para penulis menyajikan berbagai resep, rumus, dan kiat praktis. Baik dengan gaya bahasa simpel parktis dan mudah dicerna, sampai kalimat-kalimat akademis yang sulit dimengerti. Dari uraian dengan kosa kata sehari-hari yang gampang dikunyah, sampai rumus-rumus dan angka yang rumit seperti rumus bikin bom nuklir.

Seperti halnya ikut seminar atau training tentang pengelolaan kekayaan pribadi, belaajr dari buku juga banyak kelemahannya. Teori dan trik yang ada di buku, kadang-kadang tidak realistis. Apalagi jika ditulis oleh penulis asing, yang memiliki pengalaman nyata di luar negeri. Sebab, dunia bisnis dan perekonomian di Indonesia memiliki corak yang berbeda dengan (katakanlah) Amerika Serikat. Policy ekonominya beda, inflasi dan suku bunganya beda, dan perilaku masyarakatnya (sebagai subyek bisnis dan ekonomi) jelas sangat beda.

Lakukan Sekarang !

Cermati bagaimana uang diciptakan. Amati bagaimana aset berpindah tangan. Seraplah ilmu mengenai kecerdasan finansial. Entah melalui pengalaman nyata, pola menthoring, menyerap ilmu sang guru, atau membaca buku; yang jelas, ada banyak cara untuk mengasah kecerdasan finansial Anda.

Yang lebih penting adalah : LAKUKAN SEKARANG !

Tidak ada komentar: