(inilah.com/Noerma) |
INILAH.COM, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada pada titik paling buruk. Investor sejak awal perdagangan terlihat panik dan IHSG terus merosot tak terkendali merespon negatif krisis finansial di AS. Bahkan saham Grup Bakrie turun lebih dari 30%.
Pada perdagangan Senin (6/10) IHGS ditutup melemah 10,3% atau 183.77 poin ke level 1.648,74. Indeks LQ-45 anjlok 42,170 poin (11,42%) menjadi 326,970 dan Jakarta Islamic Index (JII) turun 37,058 poin (12,94%) menjadi 249,333.
Perdagangan saham mencatat hanya 10 saham yang naik, 9 saham stagnan dan 209 saham lainnya merosot. Transaksi tercatat 65.212 kali, dengan volume 4,578 miliar unit saham, senilai Rp 4,588 triliun.
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) Fuad Rahmany mengatakan penurunan IHSG yang lebih dari 5% ini karena pasar merefleksikan penurunan yang harusnya terjadi pada saat libur lebaran.
"Selama hampir sepekan BEI tidak mengalami trading. Yang lain (bursa regional dan global) sudah turun-turun. Mereka melakukan adjusment karena market itu kan sangat rasional," jelas Fuad.
Sejak perdagangan dibuka, IHSG sudah anjlok sangat dalam di posisi 78,65 poin atau 4,29% ke level 1753.86. Bahkan, pada 10 menit setelah pembukaan, IHSG terpuruk di level 1.739,66, turun 92,85 poin atau 5,07%.
IHSG goyah terpengaruh ketidakpastian pasar global ikut. Investor panik dan langsung menarik dananya dari pasar secara besar-besaran. Pasar tampaknya kurang merespon rencana bailout US$ 700 miliar karena menganggap bukan solusi jangka panjang terhadap krisis finansial yang terjadi belakangan ini.
IHSG juga ikut terimbas pasar saham regional yang juga terpuruk cukup dalam. Indeks saham Hang Seng turun 4,97%, Seoul turun 4,29%, Nikkei turun 4,25%, Shanghai turun 5,23%, STI Singapura turun 5,26%, Taiwan turun 4,12%.
Sementara sentimen dari dalam negeri juga kurang menggembirakan. Yakni laju inflasi tahunan (year on year) sampai September 2008 yang tercatat sebesar 12,14% yang merupakan laju inflasi paling tinggi tiga tahun terakhir ini. Sementara inflasi bulanan September naik menjadi 0,97% dibandingkan Agustus 0,51%
Sehingga hal ini menimbulkan ekspektasi bahwa suku bunga acuan BI rate akan kembali melambung. Akibatnya sektor-sektor usaha akan kesulitan mendapatkan dana murah untuk menjalankan ekspansi bisnisnya akibat tingginya suku bunga perbankan.
Sementara saham Grup Bakrie merosot melebihi 30%. Akibatnya saham grup ini mengalami auto rejection alias berhenti secara otomatis. Seperti saham PT Bumi Resources (BUMI) melemah 32,03% dan berhenti di level Rp 2.175 per lembar.
Demikian pula saham PT Bakrie Sumatera Plantations (UNSP) anjlok di level 35,21% dan terpaksa dihentikan secara otomatis pada level Rp 460. PT Energi Mega Persada (ENRG) juga anjlok 32,7% dan ditutup di level Rp 350.
Saham di sektor properti PT Bakrieland Development (ELTY) juga berhenti di level Rp 150 setelah anjlok 36,17%. PT Bakrie Telecom (BTEL) juga dihentikan pada level Rp 150 anjlok 40%. Saham PT Bakrie & Brothers (BNBR) anjlok 40,8% di level Rp 145.
Saham lainnya yang anjlok di antaranya, PT Bank Mandiri (BMRI) turun Rp 150 menjadi Rp 2.500, PT Aneka Tambang (ANTM) turun Rp 400 menjadi Rp 1.060, PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) turun Rp 450 menjadi Rp 4.950, PT Timah (TINS) turun Rp 520 menjadi Rp 1.140, PT Telkom (TLKM) turun Rp 50 menjadi Rp 7.100.
Sedangkan saham yang naik harganya antara lain PT Bank Internasional Indonesia (BNII) naik Rp 120 (38,71%) menjadi Rp 435 per lembar. Demikian pula saham PT
Trada Maritim yang naik 27,2% atau 34 poin ke level Rp 159 per lembar serta PT Ramayana Lestari Sentosa (RALS) menguat 2,47% atau Rp 20 menjadi Rp 830 per lembar.
Analis Paramita Alfa Securities, Pardomuan Sihombing, menilai anjloknya saham regional termasuk di Indonesia hanya merupakan bentuk panic selling. Kondisi tersebut terjadi karena kekhawatiran semua pihak terutama pasar terhadap krisis yang terjadi di AS.
Ia menghimbau pemerintah dan semua pihak untuk tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang akan membuat pasar semakin panik. Menurutnya, kebijakan mem-blow up BUMN sebaiknya juga tidak usah dilakukan karena bisa semakin mempertegang kondisi pasar.
“Intinya, pemerintah saat ini harus mengambil langkah antisipasif, meski kondisi internal Indonesia lebih baik dan tidak terlalu terpengaruh faktor eksternal. Satu-satunya langkah stabilitasi yang bisa dilakukan yaitu meningkatkan ekspor ke luar negeri termasuk ke AS,” jelasnya.
Dirut Bursa Efek Indonesia (BEI) Erry Firmansyah mengungkapkan transaksi harian turun ke level Rp 3 triliun mulai September 2008 terimbas krisis global. Pada 2007, rata-rata transaksi harian perdagangan saham di BEI sebesar Rp 4,2 triliun. Erry memperkirakan perdagangan saham akan kembali normal pada 3-6 bulan ke depan.
[ Kirim ke teman ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar